Praktik Homoseksual atau interaksi seksual sesama jenis kelamin ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, baru dikemukakan istilahnya pada abad ke-19. Dalam perkembangannya, homoseksual menyebar ke Bangsa Yunani dan Romawi. Selama era Renaisans, kota-kota kaya di Italia – Florence dan Venesia khususnya – terkenal karena praktik cinta sesama jenis yang melibatkan sebagian besar populasi laki-laki dan terbentang di sepanjang pola klasik Yunani dan Roma. Kemudian tren ini menyebar ke Perancis dan Jerman pada abad ke-13 serta ke Amerika pada 1948.
Di Jepang, homoseksual lebih dikenal dengan istilah ‘shudo’ atau ‘nanshoku’. Dan ini telah ada sejak lebih dari seribu tahun dan memiliki beberapa kaitan dengan kehidupan monastik Buddhis dan tradisi Samurai. Budaya cinta sesama jenis kemudian melahirkan tradisi yang kuat dalam seni lukis dan sastra Jepang. Di Thailand, praktik homoseksualitas dikemas sebagai kathoey atau ‘ladyboy’ telah menjadi corak masyarakat Thailand selama berabad-abad dan raja-raja Thailand memiliki pasangan baik laki-laki maupun perempuan.
Perjalanan homoseksual bukan berjalan begitu saja. Di era Mesir kuno, masyarakat berupaya untuk mengharamkan hubungan tersebut. Praktik homoseksual dijerat dengan hukuman mati. Di Perancis sendiri pada abad ke-13, ketika homoseksual mulai menyebar, Kerajaan Perancis segera membentuk Undang-Undang Hukuman mati bagi penganut homoseksual.
Jika ditinjau dari sudut pandang agama, maka kita akan menemukan pengharaman akan homoseksual. Baik dari agama Yahudi, Kristen, maupun Islam. Dalam kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dalam Islam sendiri, perbuatan homoseksual termasuk perilaku yang keji dan sanksinya amat berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Namun, karena alasan hak asasi manusia atau humanisme, tidak sedikit yang mendukung perbuatan ini. Persis seperti yang dikatakan Obama, “same-sex couples should have the same rights as anybody else”
Di Indonesia, upaya melegalkan homoseksual banyak digalakkan oleh kaum liberal. Metode yang dipakai untuk mensahkanpun dengan merumuskan model penafsiran baru terhadap Al-Quran dan Hadits. Sebut saja Prof. Musdah Mulia yang terang-terangan mendukung homoseksual. Katanya, “Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Quran (al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.”
Selama belasan abad, belum ada satupun ijtihad ulama yang membolehkan penafsiran seperti ini. Atau dengan kata lain, Prof. Musdah Mulia seakan menyalahkan fatwa ribuan ulama. Logika Prof. Musdah Mulia dengan sampel eksplisit pun tidak jelas. Sebab, jika menggunakan logika seperti ini, kawin dengan anjing bahkan patung bisa dihalalkan karena tidak sebutkan dalam Al-Quran.
Padahal, kebejatan perilaku seksual zaman Nabi Luth telah sangat jelas dipaparkan. Dan ini kembali ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah). Buya Hamka bahkan menjelaskan bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Presiden Zimbabwe, Robert Mugeba –sebagai tokoh yang sangat menentang homoseksual- juga mengatakan, “They are worse than dogs and pigs.”
Jika perilaku homoseksual lebih hina dibandingkan binatang, maka patutlah kita mempertanyakan pelegalannya di Amerika. Apakah ini bukti kemajuan suatu peradaban barat ataukah tanda runtuhnya peradaban barat itu sendiri?
Juni, 2015
0 komentar:
Posting Komentar