Cari Blog Ini

Senin, 02 Februari 2015

Mengenang Mohammad Natsir

Salah satu tokoh nasional kebanggaan umat yang pernah hadir di negeri ini yakni Mohammad Natsir. Ia sering dikenal sebagai tokoh dakwah dan politik. Ia lahir di Alahan Panjang, Sumater Barat, 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta 6 Februari 1993. 

Natsir lahir dari pasangan suami-istri Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu Agama dan ilmu lain. Bahkan diusianya yang masih belia, ia sudah menguasai bahasa arab. Tak heran, dalam waktu singkat ia sudah bisa membaca kitab kuning. 

Natsir juga merupakan sosok yang haus ilmu. Ini ditandai dengan mengejar ketertinggalannya dalam menguasai Bahasa Belanda - bahasa kaum elit terpelajar saat itu. Selain itu, kegemarannya membaca buku membuat wawasannya semakin luas. Ia juga merupakan penulis yang produktif. Terbukti ada puluhan buku yang ia tulis, yakni: Capita Selecta, Fiqh Dakwah, Islam sebagai Dasar Negara, dan lain-lain. Pada tanggal 10 November 2008, ia dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai menteri yang tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Ia juga dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberikan hadiah mobil mewah. Tanda bahwa ia adalah seorang yang tidak tergiur dengan dunia. 

Salah satu prestasi spektakuler Natsir yang terekam sejarah yakni statemennya yang dikenal dengan ‘Mosi Integral Natsir’. Pernyataan itu ia lontarkan ketika Indonesia menjadi Negara serikat sebagai produk dari Komperensi Meja Bundar (KMB), melalui sidang RIS (Republik
Indonesia Serikat) tahun 1950. Akibat dari mosi itu, Indonesia yang sudah terpecah kedalam 17 negara bagian dapat bersatu kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas jasanya itu, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI.

Di dunia Internasional, Mohammad Natsir memegang beberapa amanah. Diantaranya pada tahun 1967, dimana ia menjadi wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi (Pakistan) dan anggota Liga Musim Dunia yang bermarkas di Makkah. Pada tahun 1972, ia diangkat menjadi anggota Kehormatan Majelis Ta’sisi Rabithah al-Alam Insani yang berkedudukan di Mekah Saudi Arabia. Atas jasa-jasanya memimpin organisasi tersebut, pada tahun 1980 Kerajaan Arab Saudi memberikan penghargaan “Faisal Award” sebagai penghormatan atas jasa dan pengabdiannya pada Islam

Natsir dan Umat Islam

Jasa Natsir terhadap umat Islam sangatlah besar. Dirintisnya pendidikan yang ia beri nama 'Pendidikan Islam' (Pendis) adalah salah satu bentuk kepeduliannya saat itu. Mengingat masalah penting umat saat itu yakni kebodohan umat Islam terhadap agamanya sendiri. Ia juga mempunyai peranan penting terhadap pendirian beberapa universitas, seperti; Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan lain sebagainya.

Perjuangan Natsir dalam mengatasi problematika umat Islam tentulah tidak mudah. Tahun 1932-1934, ketika Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung, ia harus harus mengkonsep kurikulum, mengajar dan mengelola guru-gurunya. Ia juga berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini, ia harus menggadaikan gelang istrinya. 

Natsir juga sangat getol dalam membendung arus sekularisasi. Ia tak segan-segan mendukung Prof. Dr. H.M Rasjidi dan tokoh-tokoh lain dalam menentang gagasan sekularisasi yang dibawa oleh Nurcholis Madjid. Meski Natsir menganggap bahwa Nurcholis Madjid adalah 'anak sendiri' nya, namun Natsir risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan yang ingin menjauhkan diri dari "cita-cita akidah dan umat Islam" yang dibawakan oleh Nurcholis Madjid. Dalam pesannya seperti yang dikutip oleh Adian Husaini, ada tiga tantangan dakwah yang sedang dihadapi; Sekularisasi yang menjelma menjadi liberalisasi, nativisasi yakni mengembalikan Indonesia kembali pada jaman pra Islam, dan Kristenisasi. 

Masalah lain yang juga ditanggapi oleh Natsir saat itu yakni penyakit cinta dunia. Beberapa tahun menjelang wafatnya, ia berpesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia." Lebih jauh, Natsir menjelaskan, "Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan merupakan gejala yang 'baru', tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elit masyarakat). Tetapi, gejala yang 'baru' ini, akhir-akhir ini terasa amat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa umat Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."

Jika kita melihat masalah umat dahulu tak jauh berbeda dengan umat yang sekarang. Tersebarnya virus sekularisme –yang berujung pada liberalisme-, cinta dunia, dan ketidaktahuan akan agama juga dialami kaum muslim saat ini. Apa yang dicita-citakan Mohammad Natsir juga merupakan cita-cita umat Islam. Jika Natsir berjuang dengan segala ilmu dan lembaga/organisasi yang ia punyai demi kepentingan umat Islam, maka mari lanjutkan impian kita dengan segala kemampuan dan potensi yang kita punyai. Wallahu ‘alam!

Februari, 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Muh. Hidayat. Diberdayakan oleh Blogger.