Salah satu tokoh
nasional kebanggaan umat yang pernah hadir di negeri ini yakni Mohammad Natsir.
Ia sering dikenal sebagai tokoh dakwah dan politik. Ia lahir di Alahan Panjang,
Sumater Barat, 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta 6 Februari 1993.
Natsir lahir dari
pasangan suami-istri Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Sejak kecil ia sudah
mempelajari ilmu Agama dan ilmu lain. Bahkan diusianya yang masih belia, ia
sudah menguasai bahasa arab. Tak heran, dalam waktu singkat ia sudah bisa
membaca kitab kuning.
Natsir juga
merupakan sosok yang haus ilmu. Ini ditandai dengan mengejar ketertinggalannya
dalam menguasai Bahasa Belanda - bahasa kaum elit terpelajar saat itu. Selain
itu, kegemarannya membaca buku membuat wawasannya semakin luas. Ia juga merupakan
penulis yang produktif. Terbukti ada puluhan buku yang ia tulis, yakni: Capita
Selecta, Fiqh Dakwah, Islam sebagai Dasar Negara, dan lain-lain. Pada tanggal
10 November 2008, ia dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenal
sebagai menteri yang tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Ia juga dikenang
sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberikan hadiah mobil mewah.
Tanda bahwa ia adalah seorang yang tidak tergiur dengan dunia.
Salah satu prestasi
spektakuler Natsir yang terekam sejarah yakni statemennya yang dikenal dengan ‘Mosi
Integral Natsir’. Pernyataan itu ia lontarkan ketika Indonesia menjadi Negara serikat
sebagai produk dari Komperensi Meja Bundar (KMB), melalui sidang RIS (Republik
Indonesia Serikat)
tahun 1950. Akibat dari mosi itu, Indonesia yang sudah terpecah kedalam 17
negara bagian dapat bersatu kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Atas jasanya itu, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI.
Di dunia
Internasional, Mohammad Natsir memegang beberapa amanah. Diantaranya pada tahun
1967, dimana ia menjadi wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di
Karachi (Pakistan) dan anggota Liga Musim Dunia yang bermarkas di Makkah. Pada
tahun 1972, ia diangkat menjadi anggota Kehormatan Majelis Ta’sisi Rabithah al-Alam Insani yang berkedudukan di Mekah
Saudi Arabia. Atas jasa-jasanya memimpin organisasi tersebut, pada tahun 1980
Kerajaan Arab Saudi memberikan penghargaan “Faisal
Award” sebagai penghormatan atas jasa dan pengabdiannya pada Islam
Natsir dan Umat
Islam
Jasa Natsir
terhadap umat Islam sangatlah besar. Dirintisnya pendidikan yang ia beri nama
'Pendidikan Islam' (Pendis) adalah salah satu bentuk kepeduliannya saat itu.
Mengingat masalah penting umat saat itu yakni kebodohan umat Islam terhadap
agamanya sendiri. Ia juga mempunyai peranan penting terhadap pendirian beberapa
universitas, seperti; Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam
Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn
Khaldun Bogor, dan lain sebagainya.
Perjuangan Natsir
dalam mengatasi problematika umat Islam tentulah tidak mudah. Tahun 1932-1934,
ketika Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung, ia
harus harus mengkonsep kurikulum, mengajar dan mengelola guru-gurunya. Ia juga
berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini,
ia harus menggadaikan gelang istrinya.
Natsir juga sangat
getol dalam membendung arus sekularisasi. Ia tak segan-segan mendukung Prof.
Dr. H.M Rasjidi dan tokoh-tokoh lain dalam menentang gagasan sekularisasi yang
dibawa oleh Nurcholis Madjid. Meski Natsir menganggap bahwa Nurcholis Madjid
adalah 'anak sendiri' nya, namun Natsir risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan
yang ingin menjauhkan diri dari "cita-cita akidah dan umat Islam"
yang dibawakan oleh Nurcholis Madjid. Dalam pesannya seperti yang dikutip oleh
Adian Husaini, ada tiga tantangan dakwah yang sedang dihadapi; Sekularisasi
yang menjelma menjadi liberalisasi, nativisasi yakni mengembalikan Indonesia
kembali pada jaman pra Islam, dan Kristenisasi.
Masalah lain yang juga ditanggapi oleh Natsir saat itu
yakni penyakit cinta dunia. Beberapa tahun menjelang wafatnya, ia berpesan
kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu penyakit
bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam
mencintai dunia." Lebih jauh, Natsir menjelaskan, "Di negara kita,
penyakit cinta dunia yang berlebihan merupakan gejala yang 'baru', tidak kita
jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian
elit masyarakat). Tetapi, gejala yang 'baru' ini, akhir-akhir ini terasa amat
perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini
dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami
kejadian yang menimpa umat Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada
umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."
Jika kita melihat masalah umat dahulu tak jauh berbeda
dengan umat yang sekarang. Tersebarnya virus sekularisme –yang berujung pada liberalisme-,
cinta dunia, dan ketidaktahuan akan agama juga dialami kaum muslim saat ini.
Apa yang dicita-citakan Mohammad Natsir juga merupakan cita-cita umat Islam.
Jika Natsir berjuang dengan segala ilmu dan lembaga/organisasi yang ia punyai
demi kepentingan umat Islam, maka mari lanjutkan impian kita dengan segala
kemampuan dan potensi yang kita punyai. Wallahu
‘alam!
Februari, 2015
0 komentar:
Posting Komentar