Waktu saat itu menunjukkan kurang lebih pukul sepuluh pagi. Saya
mendapat antrian nomor enam. Kemudian duduk dengan bertemankan isolasi kuning
bermotifkan X. Tanda bahwa orang tidak boleh duduk di sana untuk mencegah
penyebaran virus corona. Perempuan berbaju merah keluar dari ruangan tes rapid.
Saya menduga itu saudara orang yang di tes rapid.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara teriakan dari dalam
ruangan.
“Takutki lihat darah.” Salah seorang perawat mengatakan itu.
Pengalaman tes rapid di Prodia, darah yang diambil memang cukup banyak. Kurang
lebih satu 1/3 ibu jari. Jarum yang dipakai juga cukup tebal. Saya pernah
menanyakan teman yang juga telah tes Rapid. Katanya, mereka cuman diambil satu
hingga dua celup aja darahnya. Ibarat mau cek golongan darah.
Orang yang tes di dalam belum juga selesai. Masih takut
sepertinya. Datanglah ibu dan anaknya berjilbab hitam. Mereka duduk satu meter
di kananku.
“Om sudah pernah tes rapid?” tanyanya setelah mendengar
suara teriakan dari dalam ruangan.
“Sudah. Nanti darah kita diambil.”
Mendengar itu, semacam ada getaran ketakutan dalam dirinya.
“Adik memang mau ke mana?”
“Tidak ke mana-mana, om. Cuman mau tes aja. Soalnya beberapa
hari ini sakit.”
Saya mengerti perasaannya. Lebih tepatnya perasaan Ibunya
mengapa ia membawa anaknya untuk tes rapid. Ibunya takut kalau anaknya terkena
virus corona.
Karena waktu masih lama, saya membuka laptop. Biasanya,
kalau bukan buku, saya membuka laptop saya untuk menyicil pekerjaan kantor atau
menulis.
Saya mengetik Blogger.com di web address.
“Kakak Blogger?” adik di samping saya tadi bertanya.
“Hmm. Boleh dibilang begitu.” Saya menulis di Blog udah lama
sih. Cuman tidak sekonsisten dulu menulisnya. Di mana ada mood, di situ saya
menulis. Well, meskipun ini pro kontra sih. Sebab sebagian orang mengaminkan,
menulis itu harus ada mood. Sebagian lagi menganggap, menulis itu harus
dipaksa.
“Adik punya blog juga?”
“Iya. Ada. Namanya Najma Afiyah.”
Saat itu pula saya tahu nama adik tersebut. Sayangnya,
blognya tidak bisa terbuka. Perkenalan kami berakhir di sana setelah ibunya datang.
Singkat cerita, nomor antrian saya dipanggil. Rupa-rupa
perawat tak lagi keliatan tersebab pakaian APD yang mereka pakai. Warnanya biru
keungu-unguan.
Identitas saya pun dicatat. Nomor NIK, umur, dan alamat.
Untuk melakukan rapid test di prodia, harganya lumayan juga. Empat ratus ribu
rupiah. Sudah termasuk konsultasi dengan dokter.
Saya pun diarahkan duduk. Perawat mengeluarkan jarumnya dan
botol darah berukuran kecil. Ia meraba-raba lipatan siku. Seolah mencari titik
cakra.
“Tarik nafas, mas.”
Saya pun menarik nafas. Kemudian jarumpun ditusuknya.
Diambillah darah saya sebagai sampel untuk menguji reaktif tidaknya tes rapid.
Tes Rapid selesai.
Adapun hasilnya, non-reaktif. Satu persyaratan untuk terbang
saya dapatkan.
Oh iya, sebelumnya tes rapid ini berlaku 14 hari. Bukan lagi
3 hari. Di Prodia, teman-teman juga akan mendapatkan notif lewat sms bahwa
hasilnya sudah keluar. Sekian pengalaman saya tes rapid di prodia. Teman-teman punya pengalaman lain tes rapid?
sepupuku swab tes massal di kantornya, dari 8 orng yg swab dia doang yg hasilnya positif. hasilnya keluar 2 hari setelah swab tes. caranya sama juga dapat notif lewat sms
BalasHapuswuih. semoga kedepannya bisa sembuh dah. amin amin
BalasHapusHalo om,makasih ya udah pernah temenin cerita waktu kesitu....
BalasHapusHehe jadi keinget...