Judul : Belajar dari Partai Masjumi
Penulis : Artawijaya
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Jumlah Halaman : 208 Hal
ISBN : 9789795926740
Impian
untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tentu menjadi dambaan setiap
muslim. Namun, dalam pengaplikasiannya tentu tidak mudah. Ada banyak rintangan
yang mesti kita lewati. Terlebih lagi, jika kita berjuang lewat jalur
demokrasi. Ada banyak ideologi yang berseberangan dalam jalur politik yang
ditempuh.
Buku
‘Belajar dari Partai Masjumi’ karya
Artawijaya mengungkapkan bagaimana perjuangan Partai Masjumi mengambil langkah
legal dengan ikut jalur demokrasi. Dengan tebal 186 halaman, buku ini tidak
hanya memberikan stimulan bagi para aktivis untuk terus berjuang. Tapi juga
memberikan banyak pelajaran dengan mengambil nilai-nilai kesederhanaan dari
para tokoh Masjumi.
Dalam
alur politiknya, Partai Masjumi tidak serta merta menjadikan demokrasi sebagai
tujuan. Namun, sebagaimana yang tertera dalam Tafsir Asas Masjumi, demokrasi
hanyalah sebagai alat. Bukan sebagai tujuan dan keyakinan yang menyatakan bahwa
dengan demokrasi dapat memberikan solusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
(hlm. 33).
Prawoto
Mangkusasmito, sebagai Ketua Umum Partai Masjumi menyatakan, “kursi dan kabinet
bukanlah tujuan. Ia adalah jalan, bahkan satu dari banyak jalan untuk menuju
cita-cita. Jangan hendaknya sodara-sodara silau karena jalan, dan lupa pada
tujuan!” (hlm. 60). Tentu saja, cita-cita yang dimaksud yakni ingin menjadikan
Islam sebagai pijakan (asas) yang mengatur kehidupan baik dalam tataran
individu, masyarakat, maupun negara. Mohammad Natsir menggambarkan keinginan
umat Islam, “kalau pun besar tidak melanda, kalau pun tinggi, malah
melindungi.”
Tapi,
jalanan tak mulus-mulus saja. Dalam debutnya, Partai Masjumi banyak disindir
oleh partai sebelah. Utamanya Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam beberapa
kampanye disebutkan untuk tidak memilih Masjumi. “Jangan pilih Masjumi. Kalau
Masjumi menang, Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Onta!” (hlm. 67). Hal
itu mendapat respons dari Partai Masjumi. Masjumi pun menyidir balik dalam kampanye.
“Jangan pilih PKI. Kalau PKI menang, Lapangan Banteng diubah jadi Lapangan
Merah atau Lapangan Kremlin!” Ungkapan yang dirujuk pada tempat yang berada di
negara Komunis; Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Uni Soviet ketika itu (hlm.
68).
Kondisi
perang mulut tak seketika menjelma menjadi perang fisik. Pemilu tahun 1955
terselenggara dengan damai, tanpa ada bentrokan fisik. Apalagi aksi
bakar-bakaran. Tokoh Masjumi, KH. Firdaus A.N mengenang, “Saya tidak habis
pikir, begitu hebatnya persaingan waktu itu, tidak ada satu orang pun yang
menjadi korban” (hlm. 73).
Hasil
dari pemilu tersebut menempatkan PKI sebagai salah satu partai yang memasuki
tiga besar. Sampai pada akhirnya PKI berhasil menggaet Soekarno dan menjalin
hubungan dalam lingkar elit kekuasaan. Meski Soekarno bukan anggota PKI dan tidak
tunduk pada ideologi komunis, namun perlahan Soekarno mulai menggunakan
jargon-jargon dan retorika politik PKI (hal. 94). Pemilu tersebut juga
merupakan awal sekaligus akhir dari partai Masjumi. Mengingat banyaknya tekanan
rezim yang sedang mabuk kekuasaan.
Meskipun
begitu, bubarnya Partai Masjumi tidak lantas menaruh kebencian pada para
tokoh-tokoh Masjumi. Buya Hamka, sebagai salah satu tokoh Masjumi pernah
difitnah. Hamka dituding ingin membunuh Soekarno dan dicerca sebagai pengkhianat-pengkhianat
negeri. Ujung dari peristiwa itu membuat Buya Hamka dipenjara. Tapi apa yang
ditimpakan Hamka dibalas dengan kebijaksanaan. Soekarno memberi wasiat agar
ketika ia meninggal, Hamka yang mengimami ia salat. Dengan ikhlas, wasiat itu
dipenuhi oleh Hamka. Kata Hamka, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang
pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa (hlm 147).”
Bubarnya
Partai Masjumi tidak lantas membuat keteladanan dari para tokoh Masjumi juga
ikut bubar. Dari Prawoto Mangkusasmito kita dapat belajar bagaimana menjadi
pribadi yang tidak pragmatis, apalagi bisa dibeli oleh kesenangan sesaat. Dari
Haji Agus Salim kita dapat belajar tentang kesederhanaan. Tokoh Masjumi
lainnya, Sjafruddin Prawiranegara suatu ketika menjelaskan filosofi harta,
“Mungkin sekali orang disebut kaya jika ditinjau dari sudut kebendaan, namun
miskin kalau ditinjau dari ketenangan jiwa. Sebaliknya, orang yang miskin kalau
diukur dengan ukuran materi, dapat disebut cukup karena orang yang bersangkutan
memang tidak merasa dan memandang dirinya miskin.” Yang semuanya itu tak lain
adalah implementasi dari ajaran-ajaran Islam.
Sebagai
buku yang mengulas tentang sebuah partai Islam, buku ini sangat cocok buat para
aktivis perjuangan yang memasuki jalur politik. Apa yang tertuang dalam buku
ini bisa menjadi pelajaran. Bahwa dalam mendudukkan Islam sebagai asas
kehidupan tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada jalanan terjal yang mesti
didaki. Kadang jatuh, kadang melangkah.
dalem min , kekayaan itu sebenarnya relatif ya, yang udah kaya aja masih merasa kurang kaya :) BTW ini Blog ane Bhineka-RI
BalasHapus