Cari Blog Ini

Kamis, 15 September 2016

Perjuangan Partai Masjumi


Judul : Belajar dari Partai Masjumi
Penulis : Artawijaya
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Jumlah Halaman : 208 Hal
ISBN : 9789795926740

Impian untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tentu menjadi dambaan setiap muslim. Namun, dalam pengaplikasiannya tentu tidak mudah. Ada banyak rintangan yang mesti kita lewati. Terlebih lagi, jika kita berjuang lewat jalur demokrasi. Ada banyak ideologi yang berseberangan dalam jalur politik yang ditempuh.

Buku ‘Belajar dari Partai Masjumi’ karya Artawijaya mengungkapkan bagaimana perjuangan Partai Masjumi mengambil langkah legal dengan ikut jalur demokrasi. Dengan tebal 186 halaman, buku ini tidak hanya memberikan stimulan bagi para aktivis untuk terus berjuang. Tapi juga memberikan banyak pelajaran dengan mengambil nilai-nilai kesederhanaan dari para tokoh Masjumi.


Dalam alur politiknya, Partai Masjumi tidak serta merta menjadikan demokrasi sebagai tujuan. Namun, sebagaimana yang tertera dalam Tafsir Asas Masjumi, demokrasi hanyalah sebagai alat. Bukan sebagai tujuan dan keyakinan yang menyatakan bahwa dengan demokrasi dapat memberikan solusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara (hlm. 33). 

Prawoto Mangkusasmito, sebagai Ketua Umum Partai Masjumi menyatakan, “kursi dan kabinet bukanlah tujuan. Ia adalah jalan, bahkan satu dari banyak jalan untuk menuju cita-cita. Jangan hendaknya sodara-sodara silau karena jalan, dan lupa pada tujuan!” (hlm. 60). Tentu saja, cita-cita yang dimaksud yakni ingin menjadikan Islam sebagai pijakan (asas) yang mengatur kehidupan baik dalam tataran individu, masyarakat, maupun negara. Mohammad Natsir menggambarkan keinginan umat Islam, “kalau pun besar tidak melanda, kalau pun tinggi, malah melindungi.”

Tapi, jalanan tak mulus-mulus saja. Dalam debutnya, Partai Masjumi banyak disindir oleh partai sebelah. Utamanya Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam beberapa kampanye disebutkan untuk tidak memilih Masjumi. “Jangan pilih Masjumi. Kalau Masjumi menang, Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Onta!” (hlm. 67). Hal itu mendapat respons dari Partai Masjumi.  Masjumi pun menyidir balik dalam kampanye. “Jangan pilih PKI. Kalau PKI menang, Lapangan Banteng diubah jadi Lapangan Merah atau Lapangan Kremlin!” Ungkapan yang dirujuk pada tempat yang berada di negara Komunis; Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Uni Soviet ketika itu (hlm. 68).

Kondisi perang mulut tak seketika menjelma menjadi perang fisik. Pemilu tahun 1955 terselenggara dengan damai, tanpa ada bentrokan fisik. Apalagi aksi bakar-bakaran. Tokoh Masjumi, KH. Firdaus A.N mengenang, “Saya tidak habis pikir, begitu hebatnya persaingan waktu itu, tidak ada satu orang pun yang menjadi korban” (hlm. 73). 

Hasil dari pemilu tersebut menempatkan PKI sebagai salah satu partai yang memasuki tiga besar. Sampai pada akhirnya PKI berhasil menggaet Soekarno dan menjalin hubungan dalam lingkar elit kekuasaan. Meski Soekarno bukan anggota PKI dan tidak tunduk pada ideologi komunis, namun perlahan Soekarno mulai menggunakan jargon-jargon dan retorika politik PKI (hal. 94). Pemilu tersebut juga merupakan awal sekaligus akhir dari partai Masjumi. Mengingat banyaknya tekanan rezim yang sedang mabuk kekuasaan.

Meskipun begitu, bubarnya Partai Masjumi tidak lantas menaruh kebencian pada para tokoh-tokoh Masjumi. Buya Hamka, sebagai salah satu tokoh Masjumi pernah difitnah. Hamka dituding ingin membunuh Soekarno dan dicerca sebagai pengkhianat-pengkhianat negeri. Ujung dari peristiwa itu membuat Buya Hamka dipenjara. Tapi apa yang ditimpakan Hamka dibalas dengan kebijaksanaan. Soekarno memberi wasiat agar ketika ia meninggal, Hamka yang mengimami ia salat. Dengan ikhlas, wasiat itu dipenuhi oleh Hamka. Kata Hamka, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa (hlm 147).”

Bubarnya Partai Masjumi tidak lantas membuat keteladanan dari para tokoh Masjumi juga ikut bubar. Dari Prawoto Mangkusasmito kita dapat belajar bagaimana menjadi pribadi yang tidak pragmatis, apalagi bisa dibeli oleh kesenangan sesaat. Dari Haji Agus Salim kita dapat belajar tentang kesederhanaan. Tokoh Masjumi lainnya, Sjafruddin Prawiranegara suatu ketika menjelaskan filosofi harta, “Mungkin sekali orang disebut kaya jika ditinjau dari sudut kebendaan, namun miskin kalau ditinjau dari ketenangan jiwa. Sebaliknya, orang yang miskin kalau diukur dengan ukuran materi, dapat disebut cukup karena orang yang bersangkutan memang tidak merasa dan memandang dirinya miskin.” Yang semuanya itu tak lain adalah implementasi dari ajaran-ajaran Islam.

Sebagai buku yang mengulas tentang sebuah partai Islam, buku ini sangat cocok buat para aktivis perjuangan yang memasuki jalur politik. Apa yang tertuang dalam buku ini bisa menjadi pelajaran. Bahwa dalam mendudukkan Islam sebagai asas kehidupan tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada jalanan terjal yang mesti didaki. Kadang jatuh, kadang melangkah.

1 komentar:

  1. dalem min , kekayaan itu sebenarnya relatif ya, yang udah kaya aja masih merasa kurang kaya :) BTW ini Blog ane Bhineka-RI

    BalasHapus

Muh. Hidayat. Diberdayakan oleh Blogger.