Tolong keluarkan pintu ke mana saja
dan bawa semua pejuang kemanusiaan untuk
Membantu saudaraku di sebuah negeri
yang jauh dari negeri mataharimu
Beri mereka baling-baling bambu
untuk terbang melawan helikopter dan jet-jet tempur,
Beri mereka senjata futuristik apa
saja untuk mengalahkan bom-bom dan artileri,
Sebab aku tahu, bukan hanya Nobita
yang akan kau bantu,
kami juga kan?
Kalimat
di atas adalah bait terakhir dari puisi Andi Batara Al-Isra yang berjudul
‘Karena Tokoh-tokoh Dunia Hanya Diam, Seseorang Lari Meminta Bantuan
Tokoh-tokoh Animasi Khayalan’. Puisi tersebut terdapat dalam buku 700 Batang
Cahaya: Palestina dalam Puisi dan Cerita (FLP Publishing, 2015).
Palestina
sebagaimana kita ketahui, penuh dengan cerita-cerita memilukan. Kanak-kanak di
sana tak lagi berbapak. Letupan suara bom selalu menggema. Sana-sini bunyi
peluru terdengar. Rumah-rumah runtuh. Air mata tak henti-hentinya mengalir. Desingan
peluru seolah sirine penjemput nyawa. Di saat tentara Israel meluncurkan tank,
mereka hanya menggunakan segenggam batu. Di saat seperti itu, teriring harapan
akan munculnya seorang ‘pahlawan’. Tapi siapa?
Mungkin
karena tokoh-tokoh dunia tak bersuara tentang Palestina, alhasil, meminta
kepada tokoh khayalan ialah jalan terbaik sekaligus konyol. Setidaknya begitu
Batara mengungkapkan kesedihannya. Batara mungkin sedih pada Ban Ki Moon,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang seharusnya mengutuk
kebiadaban Israel. Batara mungkin juga sedih pada mereka pejuang kemanusiaan
yang membatasi ruang kemanusiaan mereka karena perbedaan agama dan negara.
Hal
ini bisa kita temukan pada potongan puisinya. Sebab aku tahu, bukan hanya Nobita yang kau bantu. Jika kita
mengumampakan Doraemon ialah pejuang kemanusiaan, maka Nobita ialah korban dari
kebiadaban. Hanya saja mengapa Batara menaruh ‘Kami juga kan?’ di akhir bait? Bahwa pertanyaan ‘Kami juga kan?’ tidak lahir begitu saja.
Ia mewakili perasaan orang-orang di Palestina yang dibombardir. Bahwa selama
ini kemanusiaan yang ada hanya dalam ruang lingkup regionalnya saja. Para
pejuang kemanusiaan menutup mata ketika yang dizalimi adalah Palestina. Padahal,
kata penyair Helvy Tiana Rosa, “Kemanusiaan itu tak mengenal batas negara dan
agama. Ia tumbuh dari keajaiban nuranimu tanpa sekat, tanpa musim.”
Palestina
ialah salah satu negara yang mempunyai kontribusi besar terhadap Indonesia.
Palestina ialah satu dari saudara kita. Ketika Palestina sedang ‘sakit’, itu
artinya kita pun merasakan sakit. Kita dan Palestina ibarat satu tubuh. “Gaza,
Palestina, Kau tubuhku. Perihmu adalah perihku. Lukamu adalah lukaku. Tangismu
adalah tangisku,” kata Ganjar Widhiyoga.
Menyembuhkan
Palestina sama saja dengan memperjuangkan martabat bangsa. Seperti pada pembukaan
UUD 1945, “Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kita menghafalnya sejak masih berusia
anak-anak. Sekarang, tibalah masa pembuktian itu.
Kita
menyadari, kemampuan kita tak sama dengan kemampuan layaknya tokoh-tokoh
khayalan dalam puisi Batara. Kita tidak bisa dengan instan mengeluarkan
benda-benda dari kantong ajaib Doraemon untuk membantu Palestina. Kita tidak
bisa membuat uang seribu menjadi triliun hanya dengan sekali ketukan. Itu semua
hanya imajinasi belaka. Tapi lewat material, tulisan, dan doa, kita bisa
meringankan beban mereka. Donasi yang kita salurkan –sungguh- bisa menghapus
air mata Palestina. Makanan yang kita salurkan akan berubah menjadi daging bagi
para pejuang Palestina –yang kelak akan menjadi saksi juga di akhirat.
Presiden
pertama kita, Ir Soekano pernah berkata, “Selama kemerdekaan Bangsa Palestina
belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa
Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel!”. Atau dengan kata lain, selama
Palestina belum merdeka, maka Indonesia akan senantiasa membantu.
Melalui
puisi ini, Andi Batara al-Isra telah menaruh peduli pada rakyat Palestina.
Sindirannya pada tokoh-tokoh dunia sangat kental. Selanjutnya tinggal menunggu
waktu. Kapan kita membantunya.
Sumber Gambar: http://nurilannissa.tumblr.com/page/3
*Dimuat di Harian AMANAH
0 komentar:
Posting Komentar