Cari Blog Ini

Sabtu, 25 Mei 2024

Kebaikan

Sewaktu saya menulis ini, waktu telah menunjukkan pukul 23:32. Masih terjaga akibat kopi yang tersisa sebelum magrib kuseruput. Setelah magrib, saya pergi belanja bersama istri. Hujan. Sedikit lagi ia deras. Namun cukup membuat bagian celana cukup basah. Tapi kami tetap berbelanja. 

Sebelum saya ke tempat belanja, saya menyimak video dari Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis film dokumenter di Youtube. Karyanya yang mungkin kalian tahu dalam waktu dekat ini yakni Dirty Vote. Saya mencari beberapa videonya di Youtube setelah membaca karya Tere Liye, Tetaplah Bodoh Jangan Pintar. Salah satu tokoh di sana yakni Dandy yang juga seorang pembuat film dokumenter. 

Tapi bukan itu yang saya mau bahas. Saya tertarik dengan pesan yang diucapkankan Dandhy mengenai kebaikan. Kata beliau, "Yang mahal dari kebaikan yakni konsistensi. Bukan magnitude-nya. Bukan  volume-nya. Tapi frekuensinya. Kebaikan itu diuji oleh waktu. Kebaikan itu tidak bisa one of. Seperti Pemilu. Tapi dari in daily basis."

Terus terang, perkataan itu mengganggu saya. Mungkin karena ia menampar kehidupan saya yang masih belum bisa berbuat banyak. Ya. Yang mahal dari kebaikan itu memang konsistensinya. Kita bisa saja berbuat baik hari ini. Tapi belum tentu besok kita melakukan hal yang sama. 

Berbuat baik itu, tekan Dandhy, akan diuji ketika kita mengharap feedback. Kalau kita berbuat baik dengan harapan kita dapat sesuatu -minimal pujian-, berarti kita belum ikhlas seutuhnya. Ini yang berat. Berbuat baik itu seperti buang air besar. Ketika telah ditunaikan, lupakan. Urusan ada balasan atau tidak, nanti Tuhan yang memberi jawaban.

Berbuat baik berarti menghindari konflik kepentingan. Berbuat baik tidak seperti wahyu yang tiba-tiba datang layaknya para kontestan politik. Orang akan menilai kita baik dari apa yang kita kerjakan sehari-hari, tanpa perlu konten atau gimmick. 

Ingin kuulang sekali lagi.

Ya. Yang mahal dari kebaikan itu yakni konsistensinya

Sabtu, 11 Mei 2024

Belajar dari Sosok Mangge Rante


Sebenarnya, foto di atas merupakan foto yang sudah lama menginap di handphone saya. Ia pertama kali kujemput saat saya sedang melakukan kunjungan ke rumah keluarga korban kecelakaan sewaktu dinas, 12 Februari 2024. Pertama kali saya datang, saya cukup kaget sebenarnya. Ini tokoh apa lagi? Selama ini, foto yang terpajang selalu yakni foto Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua. Tapi, di rumah ini, orangnya berbeda. Tertulis di sana, Mangge Rante. Siapa dia? 

Ngomong-ngomong, alasan saya menulis ini, yakni setelah membaca Biografi Haji Hayun di Majalah Mola Tahun 2023. Kemudian saya teringat foto yang pernah saya ambil sewaktu dinas. Saya penasaran dengan sosok yang saya foto saat itu. Karena, saat saya mengambil foto tersebut, hal yang terbersit pertama kali yakni Tokoh Fiksi atau sejenis tokoh yang agak menyeramkan/keramat. 

Akan tetapi, setelah membaca riwayat beliau, ternyata sosok yang saya takuti awalnya itu merupakan orang hebat. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Enu, Sindue, Donggala, Sulawesi Tengah. Pue Lasadindi atau yang biasa dipanggil Mangge Rante merupakan ulama yang lahir pada tanggal 6 September 1828. Menurut cerita, namanya diambil dari kata 'Nodindi' yang artinya bergoncang. Karena, pada saat ia dilahirkan, bertepatan dengan guncangan yang diiringi hujan, guntur, dan angin topan.

Ulama yang juga merupakan seorang petani ini, mempunyai ajaran yang sampai saat ini masih relevan untuk kita semua. Pertama, ajaran 'Tana Sanggamu' (Tanah Segenggam). Yang mana ini terdiri dari; Ajaran Sanggamu berarti tangan yang menggenggam ibu jari. Kemudian, sanggaku yang berarti menggenggam dengan jari di luar. Dan, Sangga kamu yang bahwa ibu jari sudah terbuka tidak bergabung lagi dengan jari lainnya. Ibu jari dalam bahasa Kaili disebut sebagai “Kotumpu.” “Kotumpu” inilah yang menjadi pusat ajaran yang dikembangkan oleh Pue Lasadindi bahwa sanggamu berpusat pada potensi diri pribadi, sanggata bertumpu pada pengembangan potensi keluarga, dan sanggakamu berorientasi pada potensi lingkungan sosial kampung halaman. Hal ini menandakan bahwa sebagai manusia kita punya potensi yang dapat mengembangkan kepribadian kita, keluarga kita, dan sosial masyarakat.

Kedua, ajaran 'Pangaji Tonji' atau 'Panggerang Tonji'. Ajaran ini menekankan pada baca tulis Alquran serta pembacaaan terhadap alam semesta terutama tanah. Lingkungan merupakan sesuatu yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Karena dari lingkungan alamlah keberlangsungan hidup itu terwujud. Sampai sini, saya menyimpulkan kalau Mangge Rante merupakan Tokoh Ekologi.

Ketiga, ajaran 'Kana Mavali' yang berarti ajaran kecerdasan sebagai lanjutan dari 'Pangaji Tonji'. Inti dari ajaran ini yakni membentuk kecerdasan diri, kecerdasan keluarga, dan kecerdasan masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah. Menurut murid-murid Mangge Rante, filosofi Kanamavali pada kehidupan individual untuk kesehatan cara berfikir yang akan menghasilkan pribadi yang cerdas. 

Sepak terjang Mangge Rante ternyata tak cukup sampai di situ. Diriwayatkan bahwa beliau merupakan tokoh yang akitif melawan penjajah, seperti pada: Perlawanan Kayu Malue 1888; perlawanan Malonda di Gunung Bale melawan Belanda tahun 1901; menolak pembayaran pajak dan melawan semua kebijakan Belanda di Donggala 1902; Pue Lasadindi bersama Datu Pamusu menolak masuknya Belanda dan sekaligus melawan Belanda di Dolo 1903; bergabung dalam Perlawanan Tovoa Langi di Kulawi 1905; menjadi informan penting dalam Perlawawanan Kaleo Langi dalam Perang Sojol 1904; Pue Lasadindi dan Laskarnya membantu dalam Perlawanan Kolomboy di Tojo Una-Una 1926; hingga Pue Lasadindi bergabung dalam perjuangan Merah Putih dan dalam perlawanan yang dilakukan oleh Tanjumbulu di Tojo Una-Una dan Poso 1942.

Apa yang dilakukan Mangge Rante ini, bukan kaleng-kaleng. Banyak teladan dan ilmu yang bisa kita ambil dari beliau. Jadi, sangat wajar jika Pue Lasadindi ini diusulkan untuk menjadi Tokoh Nasional. Sekarang, waktunya kita meneruskan ajaran beliau. \

Sumber:
- Pue Lasadindi: Seorang Bangsawan dan Ulama Kaili oleh Khardawatih
- Tugas Resensi Buku Perjuangan Pue Lasadindi di Tanah Kaili oleh Moh. Fiqran

Kamis, 02 Mei 2024

Usia dan Keinginan Kita

Dua hari yang lalu, saya menghubungi Ibu beserta nenek yang ada di rumah. Melalui video call kutanya kabar mereka. Alhamdulillah, mereka sehat selalu. Pertanyaan berlanjut. "Berapami umurnya petta mayang lagi, Ma?" tanyaku pada Ibu. Ia menjawab umurnya 94 tahun. Masyaallah. Tabarakallah.

Konon, ketika kita menginjak umur lebih dari 63 tahun, maka kita sudah mendapat jatah hidup bonus dari Allah. Sebab Rasulullah umurnya hanya sampai 63 tahun. Tapi, yang kupelajari selama ini, seseorang masih diberikan umur panjang oleh-Nya karena belum semua nikmat ia dapatkan. Masih tersisa di dunia. Sehingga Allah masih memberikan waktu agar kelak menikmati apa yang kita inginkan tersebut.

Tentu saja. Nikmat yang kita inginkan itu tentu tanda tanya. Sebab, jika kita menginjak umur seperti itu, pasti kita pun bingung, apa lagi yang kita inginkan tapi belum tercapai? Memperbanyak keinginan -selama itu baik- tidak mengapa. Sebab ia sudah tercatat sebagai pahala. Apalagi ketika ia terlaksana dan bermanfaat buat banyak orang.

Saya sendiri juga punya banyak keinginan. Banyak. Tapi Allah tahu kapan ia akan menyediakannya untuk kita. Saking baiknya, Allah memberi waktu terbaik terhadap keinginan kita; Pertama, apa yang kita inginkan bisa jadi digantikan oleh-Nya. Sebab apa yang kita inginkan belum tentu baik buat kita. Dan apa yang ditetapkan oleh-Nya sudah pasti baik. Kedua, mengabulkannya saat itu juga agar kita lebih bersyukur kepadaNya. Ketiga, dan mungkin sering terjadi, yakni memberi jeda terhadap keinginan kita. Ia akan terkabul. Tapi butuh kesabaran dan kedewasaan sebelum hidangannya tersaji. 

Nenek mungkin sudah berumur 94 tahun. Sedangkan waktu kita, belum tentu sampai di sana. Terhadap keinginan kita yang belum terwujud, semoga Allah memberikan kejutan terbaik untuk kita. Pada apa yang telah Ia berikan, semoga syukur selalu dalam diri kita.

Rabu, 01 Mei 2024

Yang Tersisa Sebelum Memasuki Tanggal Berikutnya

Tersebutlah seorang pemuda yang bekerja di suatu perusahaan. Dengan segala aktivitasnya, dia menjalani hari-harinya dari pukul delapan pagi, hingga pukul lima sore. Atau bahkan di atas jam itu. Rajinnya ia bekerja tidak perlu ditanyakan lagi. Semua hal rutin dipastikan aman di tangannya. Meski kadang, terlambat. Tapi ia selesaikan. Pertanyaannya, apa yang tersisa di separuh waktunya sebelum memasuki tanggal berikutnya?

Pertanyaan tersebut sesekali memasuki jendela pikiran saya. Terlebih lagi ketika beberapa rekan saya sudah menanam karya dan memetik hasilnya. Sementara, diri ini masih berkutat dengan rutinitas. Ketika pulang kerja, tentu saya harus bercengkerama dengan anak dan istri. Sebab, merekalah salah satu alasan saya bekerja. 

Akan tetapi, kadangkala harus menyisihkan waktu untuk meningkatkan kapasitas diri saya. Menulis dan membaca. Atau sesekali mendengarkan Podcast daging dari Gita Wirjawan. Saya terenyak ketika membaca salah satu twit dari @syarifmaulini. "Masih rutin nulis di blog sejak 2008 sampe terakhir update 19 April 2024 (diusahakan sebisa-bisa walau tulisan kadang cepat2/yang penting ada). Prinsipku, kalau blog gak di-update-update, artinya aku terjebak pada urusan duniawi."

Belum cukup sampai di situ, dia kemudian menulis begini, "Bagiku nulis rutin di blog itu penting banget. Bulsit lah yang namanya nulis itu nunggu inspirasi. Inspirasi itu dijemput lewat latihan woy. Kalau sering nulis, kita terbiasa memaksa inspirasi itu datang."

Bisa saja, kalian mungkin tidak sepakat dengan yang beliau katakan. Tapi, saya mengaminkan perkataannya. Kata kunci yang kupegang sebenarnya ada pada kata 'diusahakan', 'terjebak', dan 'latihan'. 

Sebelum memasuki tanggal berikutnya, pastikan diri kita berusaha sebisa-bisanya untuk mengembangkan diri. Jangan terjebak pada ilusi yang itu-itu saja. Dan latihan meskipun itu hasilnya tidak terlihat pada hari itu juga. Kita tahu bersama, bahwa yang tersisa dari kita, wabilkhusus kami yang  para karyawan cuman sekian jam. Saya pun tidak mengatakan bahwa bermain bersama anak dan bercengkerama dengan keluarga itu tidak produktif. Tidak. Tapi kadangkala kita harus menyisakan waktu kita dan mengurangi jatah tidur kita untuk tidak terjebak pada rutinitas belaka.

Apa yang kita usahakan meski sedikit, yakin saja, hasilnya kita petik di kemudian hari. Sekarang saatnya, yang tersisa sebelum memasuki tanggal berikutnya, kita pergunakan untuk menambah anak tangga berikutnya pada kemampuan kita.

Selasa, 31 Oktober 2023

1 November 2023

Sudah 1 November 2023, Guys. Tinggal dua bulan lagi menuju 2024. Bagaimana kalian memulai awal bulan ini? Semoga kalian selalu semangat. Dan biasanya kalau tahun sudah mulai selesai, kita kadang merancang resolusi lagi di tahun selanjutnya. Lantas bagaimana resolusi tahun ini? Tinggal dua bulan lagi. Apakah akan terkejar? Saya tak tahu. 2023 yang kian menipis ini saya berharap bisa lebih lagi tentu saja. 

Tapi saya ingin memanfaatkan sisa waktu ini dengan mereset pikiran saya tanpa perlu membuang file-file yang bernama kebaikan di hardisk kehidupan saya. Saya ingin menjadi lebih baik. Sudah itu saja. Bagi keluarga, dan masa depan saya. Saya ingin merapikan rak-rak pikiran saya. Sehingga tidak ada lagi celah kemalasan masuk di sana.

Sudah 30 tahun saya di dunia ini. Rasa-rasanya masih belum banyak saya berbuat baik. Rasanya belum siap lidah ini melakukan pembukuan di hari akhir. Masih banyak selisih -bahkan sangat jauh selisihnya- antara dosa dan pahala yang telah saya lakukan. Peluang untuk mendapat siksaan di hari akhir masih 99,99%. Artinya sangat kecil peluang untuk masuk surga. Astagfirullah.

Semoga Allah mengampuni hamba yang hina ini.
Muh. Hidayat. Diberdayakan oleh Blogger.