Sebenarnya, foto di atas merupakan foto yang sudah lama menginap di handphone saya. Ia pertama kali kujemput saat saya sedang melakukan kunjungan ke rumah keluarga korban kecelakaan sewaktu dinas, 12 Februari 2024. Pertama kali saya datang, saya cukup kaget sebenarnya. Ini tokoh apa lagi? Selama ini, foto yang terpajang selalu yakni foto Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua. Tapi, di rumah ini, orangnya berbeda. Tertulis di sana, Mangge Rante. Siapa dia?
Ngomong-ngomong, alasan saya menulis ini, yakni setelah membaca Biografi Haji Hayun di Majalah Mola Tahun 2023. Kemudian saya teringat foto yang pernah saya ambil sewaktu dinas. Saya penasaran dengan sosok yang saya foto saat itu. Karena, saat saya mengambil foto tersebut, hal yang terbersit pertama kali yakni Tokoh Fiksi atau sejenis tokoh yang agak menyeramkan/keramat.
Akan tetapi, setelah membaca riwayat beliau, ternyata sosok yang saya takuti awalnya itu merupakan orang hebat. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Enu, Sindue, Donggala, Sulawesi Tengah. Pue Lasadindi atau yang biasa dipanggil Mangge Rante merupakan ulama yang lahir pada tanggal 6 September 1828. Menurut cerita, namanya diambil dari kata 'Nodindi' yang artinya bergoncang. Karena, pada saat ia dilahirkan, bertepatan dengan guncangan yang diiringi hujan, guntur, dan angin topan.
Ulama yang juga merupakan seorang petani ini, mempunyai ajaran yang sampai saat ini masih relevan untuk kita semua. Pertama, ajaran 'Tana Sanggamu' (Tanah Segenggam). Yang mana ini terdiri dari; Ajaran Sanggamu berarti tangan yang menggenggam ibu jari. Kemudian, sanggaku yang berarti menggenggam dengan jari di luar. Dan, Sangga kamu yang bahwa ibu jari sudah terbuka tidak bergabung lagi dengan jari lainnya. Ibu jari dalam bahasa Kaili disebut sebagai “Kotumpu.” “Kotumpu” inilah yang menjadi pusat ajaran yang dikembangkan oleh Pue Lasadindi bahwa sanggamu berpusat pada potensi diri pribadi, sanggata bertumpu pada pengembangan potensi keluarga, dan sanggakamu berorientasi pada potensi lingkungan sosial kampung halaman. Hal ini menandakan bahwa sebagai manusia kita punya potensi yang dapat mengembangkan kepribadian kita, keluarga kita, dan sosial masyarakat.
Kedua, ajaran 'Pangaji Tonji' atau 'Panggerang Tonji'. Ajaran ini menekankan pada baca tulis Alquran serta pembacaaan terhadap alam semesta terutama tanah. Lingkungan merupakan sesuatu yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Karena dari lingkungan alamlah keberlangsungan hidup itu terwujud. Sampai sini, saya menyimpulkan kalau Mangge Rante merupakan Tokoh Ekologi.
Ketiga, ajaran 'Kana Mavali' yang berarti ajaran kecerdasan sebagai lanjutan dari 'Pangaji Tonji'. Inti dari ajaran ini yakni membentuk kecerdasan diri, kecerdasan keluarga, dan kecerdasan masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah. Menurut murid-murid Mangge Rante, filosofi Kanamavali pada kehidupan individual untuk kesehatan cara berfikir yang akan menghasilkan pribadi yang cerdas.
Sepak terjang Mangge Rante ternyata tak cukup sampai di situ. Diriwayatkan bahwa beliau merupakan tokoh yang akitif melawan penjajah, seperti pada: Perlawanan Kayu Malue 1888; perlawanan Malonda di Gunung Bale melawan Belanda tahun 1901; menolak pembayaran pajak dan melawan semua kebijakan Belanda di Donggala 1902; Pue Lasadindi bersama Datu Pamusu menolak masuknya Belanda dan sekaligus melawan Belanda di Dolo 1903; bergabung dalam Perlawanan Tovoa Langi di Kulawi 1905; menjadi informan penting dalam Perlawawanan Kaleo Langi dalam Perang Sojol 1904; Pue Lasadindi dan Laskarnya membantu dalam Perlawanan Kolomboy di Tojo Una-Una 1926; hingga Pue Lasadindi bergabung dalam perjuangan Merah Putih dan dalam perlawanan yang dilakukan oleh Tanjumbulu di Tojo Una-Una dan Poso 1942.
Apa yang dilakukan Mangge Rante ini, bukan kaleng-kaleng. Banyak teladan dan ilmu yang bisa kita ambil dari beliau. Jadi, sangat wajar jika Pue Lasadindi ini diusulkan untuk menjadi Tokoh Nasional. Sekarang, waktunya kita meneruskan ajaran beliau. \
Sumber:
- Pue Lasadindi: Seorang Bangsawan dan Ulama Kaili oleh Khardawatih
- Tugas Resensi Buku Perjuangan Pue Lasadindi di Tanah Kaili oleh Moh. Fiqran