Memudahkan
para sarjana dengan IPK tinggi dapat ditinjau dalam tiga aspek. Yang pertama,
IPK tinggi merupakan cerminan dari rajin atau giatnya seorang mahasiswa dalam
perkuliahan. Semakin tinggi IPK, semakin berkualitas seseorang. Namun, inipun
masih menyimpan pertanyaan. Sebab, apakah sama kualitas para alumni yang
universitasnya menempati 10 besar dengan yang menempati urutan 100? Apakah sama
kampus negeri dan swasta?
Selain
itu, hal ini juga memungkinkan para dosen atau pengajar melakukan kecurangan.
Meski harus diakui, dalam kondisi sekarang pun sudah banyak kasus tidak sportif
dalam perguruan tinggi. Terbukti, tidak sedikit mahasiswa yang hanya tiga kali
menginjakkan kaki ke kampus. Saat mendaftar, saat ujian, dan saat wisuda.
Pandangan
kedua yakni memudahkan IPK tinggi untuk masuk PNS dapat berpotensi
menghilangkan skill seseorang. Mahasiswa lebih cenderung meningkatkan nilai
akademiknya, dibanding mengupgrade kemampuan yang ia miliki. Apalagi, dalam
berbagai riset yang menyatakan bahwa kebanyakan mahasiswa bermentalkan PNS. Maksudnya,
ketika ditanya ‘Ingin jadi apa setelah kuliah?’, maka jawabannya yakni ingin
menjadi PNS. Bahwa mempunyai IPK tinggi itu baik. Namun ada aspek-aspek lain
yang lebih penting –bahkan urgent- untuk diperhatikan.
Jika
kita kembali pada imbauan Komisi Internasional tentang Pendidikan Abad ke-21 dari UNESCO dalam hal “Learning The Treasure Within”, maka kita
akan dapati bahwa para pelaku pendidikan di Indonesia ditantang untuk berperan
secara maksimal dalam mempersiapkan sumber daya manusia dalam transformasi
global. Tentu saja, untuk mencapai hal tersebut tidak hanya bermodalkan IPK
yang tinggi.
Seorang
mahasiswa harus menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang yang dipilihnya (learning to know); memiliki life skills, seperti komunikasi, kerja
tim, pemecahan masalah, mengelola konflik, ketrampilan manual dan intelektual (learning to do); mengalami perkembangan
menyeluruh, seperti intelegensia, kepekaan, estetika, tanggung jawab pribadi,
dan nilai-nilai spiritual (learning to be);
dan mampu menumbuhkan sikap toleransi dan saling menghargai untuk hidup bersama
(learning to live together).
Dalam
studi sumber daya manusia (Human
resources), pendidikan juga merupakan salah satu aspek terpenting kemajuan
bangsa. Sebab, rendahnya kualitas SDM akan berdampak negatif pada segala
dimensi, baik itu sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Tinggi rendahnya
kualitas SDM dapat diukur dengan seberapa kreatif dan produktif seseorang
ketika bekerja. Baik secara individu maupun dalam kelompok. Selain itu, ia juga
harus mampu mengaplikasikan segala pengetahuan yang ia miliki. Tidak sebatas
teori.
Seperti
kata Achmad Sanusi dalam Pendidikan Alternatif, “Jika abad silam disebut abad
kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas sumber
daya manusia. SDM yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan lagi
merupakan isu-isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau
andalan serta ujian setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, dan bahkan
setiap bangsa.”
***
Menghadapi
era globalisasi sekarang ini, kita dituntut agar mampu menghadapi persaingan
yang semakin kompetitif. Terlebih lagi dengan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA). Masyarakat harus cerdas memilah mana yang baik dan buruk.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sia-sia jika dekadensi moral
terus berlanjut. Pendidikan sebagai jalan menuju arah yang lebih baik pada
akhirnya masih menemukan banyak rintangan-rintangan. Dan ini bukan saja PR
pemerintah, namun PR kita semua. Wallahu
‘alam!
2015
0 komentar:
Posting Komentar